BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Terapi
tingkah laku adalah penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada
berbagai teori tntang belajar, ia menyatakan penerapan yang sistematis
prinsip-prisip belajar pada pengubahan tingkah laku kearah cara-cara yang lebih
adaltif. Pendekatan ini telah memberikan sumbangan yang berarti baik kepada
bidang-bidang klinis maupun pendidikan.
Berlandaskan teori belajar,
modifikasi tingkah laku dan penerapan terapi tingkah laku adalah
pendekatan-pendekatan terhadap konseling dan psikoterapi yang berurusan dengan
pengubahan tingkah laku, penting dicatat bahwa tidak ada teori tunggal tentang
belajar, yang mendominasi pratek terapi tingkah laku. Sejumlaj teori belajar
yang beragam memberikan andil terhadap
pendekatan terapeutik umum yang satu ini, ketimbang memandang terapi
tunggal, lebih tepat menggapnya sebai terapi-terapi tingkah laku yang mencangkup
berbagai prinsip dan metode yang belun dipadukan ke dalam suatu sistem yang
dipersatukan.
Perkembangan-perkembangan terapi
tingkah laku ditandi oleh satu pertumbuhan yang fenomenal sejak akhir
1950-an, pada awal 1960-an,laporan-laporan tentang penggunaan teknik
inisekali-sekali muncul dalam kepustakaan
profesinal. Kini modifikasi tingkah laku dan terapi ingkah laku
menduduki tempat yang penting dalam lapangan psikoterapi dan dalam banyak area
pendidikan. Kepustakaan profesional,
baik berupa berkala maupun berupa buku, membuktikan peningkatan popularitas pendekatan
ini. Peningkatan pengaruh terapi tingkah laku, juga dimanifestasikan dalam
sejumlah besar departement, psikologi
yang melaksanakan psikologi klinis dan konseling dalam metode-metode
behavioral. Dewasa ini banyak program latihan yang dengan jelas menitik
beratkan terapi behavioral. Salah satu aspek paling penting dari gerakan
modifikasi terapi tingkah laku atau
behavior adalah penekanannya pada tingkah laku yang bisa didefinisikan secara operasional diamati dan diukur. Tingkah
laku bukan konstruk-konstruk yang tak
bisa diukur yang vital bagi pendekatan-pendekatan psikodinamik adalah fokus
perhatian terapeutik. Para tokoh terapi tingkah laku telah menyajikan suatu
ubahan tingkah laku, sebagai kriteria
yang spesifik memberikan kemungkinan bagi evaluasi langsung atas
keberhasilan kerja dan kecepatan bergerak kearah tujuan-tujuan terapeutik yang
bisa dispesifikan dengan jelas. Bahwa pertumbuhan terapi tingkah laku,
ditunjukan oleh banyaknya penelitian yang dilaksanakan adalah ciri lain dari
gerakan ini. Prosedur-prosedur secara berkesinambungan diperbaharui disebabkan
karena adanya koitmen untuk menjadikan prosedur itu sebagai sasaran pengujian
yang ketat guna menentukan sejauh mana prosedur-prosedur tersebut bisa bekerja dengan
baik. Karena terapi tingkah laku bersandar pada hasil-hasil eksperiment,
tentang pernyataan-pernyataan teoritisnya. Konsep-konsep utama terapi tingkah
laku erus diperkuat dan di kembangkan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang disampaiakan di atas, maka kami dapat merumuskan masalah
sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah konsep-konsep utama teori
behavior atau tingkah laku terhadap manusia ?
2.
Adakah ciri-ciri unik dalam teori
behavior atau tingkah laku ?
3.
Bagaimanakah tujuan terapeutik dari teori
behavior atau tingkah laku ?
4.
Apakah fungsi dan peran terapis dalam
teori behavior atau tingkah laku ?
5.
Bagaiamanakah pengalaman konseli dalam
konseling penerapan teori behavior atau tingkah laku ?
6.
Bagaiamanakah hubungan antara konselor
dengan konseli dalam teori behavior atau tingkah laku ?
7.
Apasajakah teknik-teknik dan
prosedur-prosedur terapeutik dalam teori behavior atau teori tingkah laku ?
1.3 Tujuan Penulisan
Sebagaimana
rumusan masalah yang telah disampaikan diatas maka tujuan dari penulisan makalah
ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui konsep-konsep utama
serta pandangan teori behavior atau tingkah laku terhadap manusia ?
2.
Untuk mengetahui ciri-ciri unik dalam teori behavior atau
tingkah laku ?
3.
Untuk mengetahui tujuan terapeutik dari
teori behavior atau tingkah laku ?
4.
Untuk mengetahui fungsi dan peran
terapis dalam teori behavior atau tingkah laku ?
5.
Untuk mengetahui bagaiamanakah
pengalaman konseli dalam konseling penerapan teori behavior atau tingkah laku ?
6.
Untuk mengetahui hubungan antara
konselor dengan konseli dalam teori behavior atau tingkah laku ?
7.
Untuk mengetahui teknik-teknik dan
prosedur-prosedur terapeutik dalam teori behavior atau teori tingkah laku ?
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang dapat diperoleh
dari pembuatan makalah ini adalah :
1.
Setelah makalah ini disusun, diharapkan dapat
bermanfaat nantinya dan digunakan sebagai masukan oleh dosen dan juga
mahasiswa.
2.
Agar dapat memberikan informasi ataupun pengetahuan tentang
teori konseling behavior atau tingkah laku.
3.
Sebagai acuan dalam penyusunan makalah selanjutnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Konsep-Konsep
Utama Teori Behavior atau Tingkah Laku
Terapi
tingkah laku atau behavioristik ini merupakan penerapan aneka ragam teknik dan
prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar. Teori belajar behavioristik adalah
sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage
dan Berliner tentang perubahan tingkah laku
sebagai hasil dari pengalaman
dan kematangan.
Teori ini
lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah
pengembangan teori dan praktik pendidikan
dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran
behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak
sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan
stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif.
Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau
pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang
dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya.
Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus
dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru
kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar
terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara
stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati
dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh
karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang
diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini
mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk
melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain
yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan
(reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka
respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan
(negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.Beberapa prinsip dalam
teori belajar behavioristik,
meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary
Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5)
Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage,
Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh
aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike,
Watson,
Clark
Hull, Edwin
Guthrie, dan Skinner.
Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis
serta peranannya dalam pembelajaran.
Teori Belajar Menurut THOMDIKE
Menurut
Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus
adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran,
perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan
respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat
pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah
laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati,
atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme
sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara
mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut
pula dengan teori
koneksionisme (Slavin, 2000).Ada tiga hukum belajar yang utama,
menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum
kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu
dapat memperkuat respon
Teori Belajar Menurut Watson
Watson
mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon,
namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan
dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental
dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor
tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat
diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang
belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika
atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman
empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
Teori Belajar Menurut
Clark Hull
Clark Hull
juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan
pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori
evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar
organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan
biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah
penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga
stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan
kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud
macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga
dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar
Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus
yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti
oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel
hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar.
Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi
stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar
hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan
mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon
bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi
stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap.
Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting
dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu
mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama
dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara
tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam
mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh
anak (Bell, Gredler, 1991).
Teori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep
yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh
sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif.
Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui
interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah
laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya.
Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena
stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar
stimulus itu akan memengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini
memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya
memengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami
tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus
yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan
berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga
mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat
untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab
setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Jadi konsep
dasar teori behavioristik ini adalah tentang perubahan tingkah laku sebagai
hasil dari pengalaman. Tetapi tidak semua perubahan tingkah laku itu krnena belajar. Ada juga
perubahan tingkah laku karena kemtangan. Kematangan itu terjadi seiring
jalannya usia individu, karena itulah terjadilah kematangan.
2.2 Ciri-ciri Unik Teori Behavior atau Teori
tingkah laku
Terapi tingkah laku,berbeda dngan
sebagian besar pendekatan terapi lainnya,ditandai oleh: (a) Pemusatan perhatian
kepada tingkah laku yg tampak dan spesifik, (b) kecermatan dan penguraian
tujuan-tujuan treatment, (c) perumusan prosedur treatment yg spesifik yg sesuai
dengan masalah dan (d) penaksiran objektif atas hasil-hasil terapi.
Terapi tingkah laku tidak
berlandaskan konsep yg sistematik,juga tidak berakar pada suatu teori yang
dikembangkan dengan baik. Sekalipun memiliki banyak teknik,terapi tingkah laku
hanya memiliki sedikit konsep. Ia adalah suatu pendekatan induktif yg
berlandaskan eksperimen-eksperimen,dan menerapkan metode eksperimental pada
proses terapiutik. Pertanyaan terapis boleh jadi, “Tingkah laku spesifik apa yg
oleh individu ini ingin diubah, dan tingkah laku baru yg bagaimana yg ingin
dipelajarinya?” kekhususan ini membutuhkan suatu pengamatan yg cermat atas
tingkah laku klien. Penjabaran-penjabaran yg kabur dan umum tidak bisa diterima
,tingkah laku yg oleh klien di inginkan berubah dispesifikasi. Yang juga
penting adalah kondisi-kondisi yg menjadi penyebab timbulnya tingkah laku
masalah diidentifikasi sehingga kondisi-kondisi baru bisa diciptakan guna
memodifikasi tingkah laku. Urusan terapiutik utama adalah mengisolasi tingkah
laku masalah, dan kemudian menciptakan cara-cara untuk mengubahnya.
Pada
dasarnya terapi tingkah laku diarahkan pada tujuan-tujuan memperoleh tingkah
laku baru , penghapusan tingkah laku yg maladaktif,serta memperkuat dan
mempertahankan tingkah laku yg diinginkan. Pernyataan yg tepat tentang
tujuan-tujuan treatment dispesifikasi,sedangkan pernyataan yg umum tentang
tujuan ditolak. Klien diminta untuk menyatakan dengan cara-cara yg kongkret
jenis-jenis tingkah laku masalah yang dia ingin mengubahnya. Setelah
mengembangkan pernyataan yg tepat tentang tujuan-tujuan treatment,terapis harus
memilih prosedur-prosedur yang paling sesuai untuk mencapai tujuan-tujuan itu.
Berbagai teknik tersedia,yg keefektifannya bervariasi dalam menangani
masalah-masalah tertentu. Misalnya, teknik-teknik aversitampaknya paling
berguna sebagai cara-cara untuk mengembangkan kendali dorongan, orang yg
mengalami hambatan dalam menampilkan diri dan dalam bergaul bisa mengambil
manfaat dari latihan asertif,pengulangan tingkah laku berguna untuk memperkuat
tingkah laku yg baru diperoleh ,desensitisasi tampaknya paling berguna dalam
penanganan fobia-fobia ,percontohan yg digabungkan dengan perkuatan positif
tampak cocok bagi perolehan tingkah laku social yg kompleks.
Karena tingkah laku yg
dituju dispesifikasi dengan jelas,tujuan-tujuan treatment dirinci, dan
metode-metode terapiutik diterangkan,maka hasil-hasil terapi bisa dievaluasi.
Terapi tingkah laku memasukkan kriteria didefinisikan dengan baik bagi
perbaikan atau penyembuhan. Karena terapi tingkah laku menekankan evaluasi
tentang keevektifan teknik-teknik yg digunakan maka evaluasi dan perbaikan yg
berkesinambungan atas prosedur-prosedur treatment menandai proses terapeutik.
Pengondisian klasik versus
pengondisian operan
Dua aliran utama
membentuk esensi metode-metode dan teknik-teknik pendekatan-pendekatan terapi
yg berlandaskan teori belajar,pengkondisian klasik dan pengkondisian
operan.pada dasarnya pengondisian klasik itu melibatkan stimulus tak berkondisi
(UCS) yg secara otomatis membangkitkan respons berkondisi (CR), yang sama
dengan respons tak berkondisi (UCR) apabila diasosiasikan dengan stimulus tak
berkondisi. Jika UCS dipasangkan dengan suatu stimulus berkondisi (CS), lambat
laun CS mengarahkan kemunculan CR.dalam contoh UCS (makanan kucing)
membangkitkan UCR, pengeluaran air liur kucing. Pembukaan kaleng makanan dengan
membangkitkan CR,pengeluaran air liur kucing.
Baik
karya Satler maupun karya Wolpe sebagian besar berasal dari pengkondisian
klasik. Teknik-teknik yg spesifik seperti desensitisasi sistematik dan terapi
aversi berlandaskan pengondisian klasik. Teknik-teknik tersebut akan dijabarkan
dalam pembahasan tentang penerapan teknik-teknik dan
prosedur-prosedur.pengondisian operan,satu aliran utama lainnya dari pendekatan
terapi yg berlandaskan teori belajar,melibatkan pemberian ganjaran kepada
individu atas pemunculan tingkahlakunya (yang diharapkan) pada saat tingkah
laku itu muncul. Pengondisian operan ini dikenal juga dengan sebutan
pengondisian instrumental karena memperlihatkan bahwa tingkah laku instrumental
bisa dimunculkan oleh organisme yg aktif sebelum perkuatan diberikan untuk
tingkah laku tersebut. Skinner, yg dianggap sebagai pencetus gagasan
pengkondisian operan,telah mengembangkan prinsip-prinsip perkuatan yg digunakan
pada upaya memperoleh pola-pola tingkah laku tertentu yang dipelajari.
Banyak
teknik dan prosedur modifikasi tingkah laku yang berasal dari model
pengondisian operan. Contoh-contoh prosedur yg spesifik yang berasal dari
pengondisian operan adalah perkuatan positif, penghapusan, hukuman,
pencontohan, dan penggunaan token economy.
2.3
Tujuan-Tujuan
Terapeutik Teori Behavior Atau Tingkah Laku
Tujuan-tujuan
konseling dan psikoterapi menduduki suatu tempat yang amat penting dalam terapi
tingkah laku. Klien menyeleksi tujuan-tujuan terapi yang secara spesifik
ditentukan pada permulan proses terapeutik. Penaksiran yang terus-menerus
dilakukan sepanjang terapi untuk menentukan sejauh mana tujuan-tujuan
terapeutik itu secara efektif tercapai.
Tujuan umum terapi tingkah laku
adaiah menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Dasar alasanya
ialah bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari (learned), termasu tingkah
laku yang maladaktif. Jika tingkah laku neurotik learned , maka ia bisa unlearned (dihapus dari ingatan). Dan
tingkah laku yang lebih efektif bisa diperoleh. Terapi tingkah laku pada
hakekatnya terdiri atas proses penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif dan
pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang didalamnya respons-respons yang
layak yang belum dipelajari.
Ada
beberapa kesalahpahaman yang menyangkut masalah-masalah tentang tujuan-tujuan
masalah tentang tujuan-tujuan dalam terapi tingkah laku. Salah satu
kesalahpahaman yang umum adalah bahwa tujuan terapi semata-mata menghilangkan
gejala-gejala suatu gangguan tingkah laku dan bahwa setelah gejala-gejala itu
terhapus, gejala-gejala baru akan muncul karena penyebab-penyebab yang
mendasarinya tidak ditangani. Hampir semua terapis tingkah laku akan menolak
anggapan yang menyebutkan bahwa pendekatan mereka hanya menangani
gejala-gejala, sebab mereka melihat terapis sebagai pemikul tugas menghapus
tingkah laku yang maladaptif dan membantu klien untuk menggantikannya dengan
tingkah laku yang lebih adjustive(dapat
disesuaikan) (ullman & krasner, 1965).
Kesalahapahaman
umum lainnya adalah bahwa tujuan-tujuan klien ditentukan dan dipaksakan oleh
terapis tingkah laku. Tampaknya ada unsur kebenaran dalam anggapan tersebut,
terutama jika menyinggung beberapa situasi, misalnya situasi dirumah sakit
jiwa. Bagaimanapun, kecendrungan yang ada dalam terapi tingkah laku modern
bergerak ke arah pelibatan klien dalam menyeleksi tujuan-tujuan dan memandang
hubungan kerja yang baik antara terapis dan klien sebagai diperlukan ( meski
dipandang belum cukup) guna memperjelas tujuan-tujuan terapeutik dan bagi kerja
yang kooperatif ke arah pencapaian tujuan-tujuan terapeutik tersebut.
Jika
para tokoh perintis terapi tingkah laku tampaknya menitik beratkan kecakapan
terapis dalam menetapkan tujuan-tujuan dan tingkah laku, para pemraktek
kontemporer memberikan penekanan pada keaktifan klien dalam memilih tujuan
tujuan dan pada keterlibatan aktif klien
dalam proses terapi. Mereka menjelaskan bahwa terapi tidak bisa dipaksakan
kepada klien yang tidak berkesediaan dan bahwa terapis dan klien perlu bekerja
sama untuk mencapai sasaran-sasaran bersama. Dalam membahas masalah-masalah
yang berhubungan dengan praktek terapi tingkah laku yang mutakhir ini (1973)
mengajukan komentar sebagai berikut:
Tak
pelak lagi proses terapi tingkah laku bukan pengondisian ulang yang
terang-terangan atas pasien. Terapis tidak bisa memaksakan pengondisian atau
belajar ulang kepada siapa pun, sebab teknik-teknik yang paling manjur pun akan
tidak berguna tanpa kerja sama dan motivasi pasen. Teknik-teknik terapeutik apa
pun yang digunakan harus ditetapkan dalam konteks suatu “hubungan kerja” antar
terapis dan pasien. Hubungan kerja adalah suatu hubungan di mana terapis dan
pasien bekerja sama ke arah tujuan yang telah di sepakati bersama. Jika ini
tidak dilakukan maka, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak , terapi akan menjadi
tidak efektif(h, 220). Tujuan-tujuan
yang luas dan umum tidak dapat diterima oleh para terapis tingkah laku. Cotohnya,
seorang klien mendatangi terapi dengan tujuan mengaktualkan diri. Tujuan umum
semacam itu perlu ditrjemahkan ke dalam perubahan tingkah laku yang spesifik
yang diinginkan klien serta dianalisis ke dalam tindakan-tindakan spesifik yang
diharapkan oleh klien sehingga baik terapis maupun klien mampu menaksir secara
lebih kongkret ke mana dan bagaimana merka bergerak. Misalny tujuan
mengaktualkan diri bisa dipecah ke dalam beberapa subtujuan yang lebih kongkret
sebagai berikut: (1) membantu klien untuk menjadi lebih asertif dan
mengeksperesikan pemikiran-pemikiran dan hasrat-hasratnya dalam situasi-situasi
yang membangkitkan tingkah laku asertif, (2) membantu klien dalam menghpus ketakutan- ketakutan yang tidak realistis
yang menghambat dirinya dari ketrlibatan dalam peristiwa-peristiwa sosial, dan (3) konfik batin yang menghambat klien
dari pembuatan putusan-putusan yang penting bagi kehidupannya .
Krumboltz
dan thorensen ( dikutip dari Huber& Millman 1972) telah mengembangkan tiga
kriteria bagi perumusan tujuan yang bisa
diterima dalam konseling tingkahlaku:
“(1) tujuan yang dirumuskan
haruslah tujuan yang diinginkan oleh klien, (2)
konselor harus bersedia membantu
klien dalam mencapai tujuan, dan .(3) harus terdapat kemungkinan
untuk menaksir sejauh mana klien bisa mencapai tujuannya “ (h , 347).
Akan tetapi, bagai mana jika klien tidak bisa mendefinisikan masalahnya dengan jelas dan hanya bisa menghadirkan tujuan-tujuan yang sama?
Krumboltz dan thorensen sepakat bahwa pada umumnya klien tidak menjabarkan masalah-masalah dalam bahasa yang sederhana
dan jelas. Tugas terapis adalah mendengarkan kesulitan klien. Secara aktif dan
empatik. Terapis memantulkan kembali apa yang di pahaminya untuk memastikan
apakah persepsiny tentang pemikiran-pemikiran dan perasan-perasan klien denar .
lebih dari itu, terapis membantu klien menjabarkan bagaimana dia akan bertindak di luar
cara-cara yang di tempuh sebelumnya. Dengan berpokus pada itngkah laku yang
spesipik yang ada pada kehidupan klien
sekarang, terapis membantu klien menerjemahkan kebingungan yang dialaminya ke dalam suatu
tujuan kongkret yang mungkin untuk dicapai.
2.4
Fungsi Dan Peran Konselor Dalam Teori
Behavior Atau Tingkah Laku
Terapis tingkah laku harus memainkan
peran aktif dan direktif dalam pemberian treatmen, yakni terapis menerapkan
pengtahuan ilmiyah pada pencarian pemecahan-pemecahan bagi masalah-masalah
manusia, pada kliennya. Terapis tingkah laku secara khas berfungsi sebagai
guru, pengaruh, dan ahli dalam mendiagnosis tingkah laku yang maladaptif dan
dalm menentukan prosedur-prosedur penyembuhan yang,diharapkan,mengarah pada
tingkah laku yang baru dan adjustive.
Sebagai
hasil tinjauannya yang seksama atas kepustakaan psikoterapi, Krasner (1967)
mengajukan argumen bahawa peran seorang terapis dari aliansi teoritisnya,
sesungguhnya adalah “mesin perkuatan”. Apa pun yang dilakukannya terapis pada
dasarnya terlibat dalam pemberian perkuatan-perkuatan sosial baik yang positif
maupun yang negatif. Bahkan meskipun mempersiapkan dirinya sebagai pihak yang
netral sehubungn dengan pertimbangan-pertimbangan nilai, terapis membentuk
tingkah lakuklien, baik melalui cara langsung maupun tidak secara langsung.
Krasner (1967) menandakan bahwa “ terapis atau pemberi pengaruh adalah suatu
‘mesin pengkuatan’. Yang dengan kehadirannya memasok perkuatan yang
dilegenerarisasikan pada setiap kesempatan dalam situasi terapi, terlepas dari
tekhnik ataw keperibadian yang terlibat” (h,202) ia menyatakn bahwa tingkah
laku klien tunduk pada manifulasi yang halus pada tingkah laku terapis yang
memperkuat. Hal itu acap kali tanpa di sadari, baik oleh klien maupun oleh
terapis. Krasner (1967), dengan mengutif kepustakaan,menunjukkan bahwa peran
terapis adalah memanipulasi dan mengendalikan psikoterapi dengan pengetahuan
dan kecakapannya menggunakan teknik-teknik belajar dalam suatu situasi
perkuatan sosial. Krasner lebih lanjut mennyatakan bahwa, meskipun sebagian
besar terapis tidak senang dengan peran “pengendalian” atau “manipulator”
tingkah laku, istilah-istilah tersebut menerangkan secara cermat apa
sesungguhnya apa peran terapis itu. Ia mengutip bukti untuk menunjukkan bahwa,
atas dasar perannya, terapis “ memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan
mengendalikan tingkah laku dan nilai-nilai manusia lain. Ketidaksedian terapis
untuk menerima situasi ini dan trus menerus tidak menyadari efek-efek tingkah
lakunya atas para pasiennya itu pun tidak etis” (h, 204).
Goodstein
(1972) juga menyabut peran terapis sebagai pemberi perkuatan. Menurut
Goodstein, “peran konselor adalah menunjangf perkembangan tingkah laku yang
secara sosial layak dengan secara sistematis memperkuat jenis tingkah laku
klieb semacam itu” (h,274). Minat, perhatian, dan persetujuan (ketidak
berminatan dan ketidak setujuan) terapis adalah pemerkuat-pemerkuat yang hebat
bagi tingkah laku klien. Pemerkuat-pemerkuat tersebut bersifat interpersonal
dan melibatkan bahasa, baik verbal maupun nonverbal, serta acap kali tanpa
disertai kesadaran yang penuh dari terapi. Goodstain menyatakan bahwa peran
mengendalikan tingkah laku klien yang dimainkan oleh terapis melalui perkuatan
menjangkau situasi di luar konseling serta di masukkan ke dalam tingkah laku
klien dalam dunia nyata: “konselor mengajar respon-respon tertentu yang di
laporkan telah di tampilkan telah di tampilkan oleh klien dalam situasi-situasi
khidupan nyata dan menghukum, respon-respon yang lainnya. Ganjaran-ganjaran itu
adalah persetujuan, minat, dan keprihatinan. . . perkuatan semacam itu penting
terutama pada periode ketika klien mencoba respon-respon atau tingkah laku baru
yang belum secara tetap di beri perkuatan oleh orang lain dalam kehidupan
klien” (h, 275). Salah satu penyebab munculnya hasil yang tidak memuaskan
adalah bahwa terapis tidak cukup memperkuat tingkah laku yang baru di
kembangkan oleh klien.
Satu
fungsi penting lainya adalah peran terapis sebagai model bagi klien. Banduara
(1969) menunjukkan bahwa sebagian besar proses belajar yang muncul melalui
pengalaman langsung juga bisa diperoleh melalui pengamatan terhadap tingkah
laku orang lain. Ia mengunkapkan bahwa salah satu proses fundamental yang
memungkinkan klien bisa mempelajari tingkah laku baru adalah imitasi atau
contoh sosial yang disajikan oleh terapis. Terapis sebagai pribadi , menjadi
model yang penting bagi klien. Karena klien sering memandang terapis sebagi
orang yang patut di taladani, klien acap kali meniru sikap-sikap, nilai-nilai,
kepercayaan dan tingkah laku terapis. Jadi, terapis harus menyadari peranan
penting yang di mainkannnya dalam proses identifikasi. Bagi terapis, tidak
mennyadari kekuatan dirinnya dalam mempengaruhi dan membentuk cara berpikir dan
bertindak kliennya, berarti mengabaikan arti penting kepribadiannya sendri
dalam proses terapi.
2.5
Pengalaman Konseli Dalam Konseling Pada Teori
Behavior Atau Teori Tingkah Laku
Salah satu sumbangan yang unik dari
terapi tingkah laku adalah suatu sistem prosedur yang ditentukan dengan baik
yang digunakan oleh terapis dalm hubungan dengan peran yang jyga ditentukan
dengan baik. Terapi tingkah laku juga memberikan kepada klien peran yang ditentukan
dengan baik, dan menekankan pentingnya kesadaran dan partisipasi klien dalam
proses terapeoutik. Carkhuff dan Berenson (1967) menunjukkan bahwa sekalipun
klien boleh jadi berada dalam peran sebagai “penerima tekhnik-tekhnik yang
pasti”. Ia diberi keterangan yang cukup tentang tekhnik-tekhnik yang di
gunakan. Mereka menyatakan bahwa “sementara terapis memiliki tanggung jawab
utama. Klien dalah fokus perhatian disertai sedikit perhatian pada nilai-nilai
sosial, pengaruh orangtua, dan proses-proses tak sadar. Para terapis modifikasi
tingkah laku pertama-tama harus memberikan keterangan rinci mengenai apa yang
ada dan akan dilakukan pada setiap tahap proses treatment” (h,92).
Keterlibatan klien dalam prose
terapeutik karenannya harus dianggap sebagai kenyataan bahwa klien menjadi
lebih aktif alih-alih menjadi penerima tekhnik-tekhnik yang pasif seperti
diisyratkan oleh Carkhuff dan berenson. Jelas, klien harus secara aktif
terlibat dalam pemilihan dan penentuan tujuan-tujuan, harus memiliki motifasi
untuk berubah, dan bersedia bekerja sama dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan
terapioutik baik selama pertemuan-pertemuan terapi maupun di luar terapi, dalam
situasi-situasi kehidupan nyata. Jika klien tidak secara aktif terlibat dalam
prose terapeutik, maka terapi tidak akan membawa hasil-hasil yang memuaskan.
Marquis (1974), yang menggunakan
prinsip-prinsip pendekatan behavioral untuk menunjang pengubahan kepribadian
yang efektif, memandang perlunya peran aktif klien dalam proses terapi. Melalui
model terapi tingkah laku, Marquis menguraikan program tiga fase yang
melibatkan partisipasi klien secara penuh dan aktif. Pertama, tingkah laku
klien sekarang di analisis dan “pemahaman yang jelas menjangkau tingkah laku
akhir dengan partisipasi aktif dari klien dalam setiap bagian dari proses
pemasangan tujuan-tujuan” (h, 368). Kedua, cara-cara alternatif yang bisa di
ambil oleh klien dalam upaya mencapai tujuan-tujuan, dieksplorasi. Ketiga,
suatu program treatment direncanakan, yang biyasannya berlandaskan
langkah-langkah kecil yang bertahap dari tingkah laku klien yang sekarang
menuju tingkah laku yang di harapkan membantu klien dalam mencapai tujuannya.
Suatu aspek yang penting dari peran
klien dalam terapi tingkah laku adalah, klien di dorong untuk breksperimen
dengan tingkah laku baru dengan maksud memperluas perbendarahaan tingkah laku
adaptifnya. Dalam terapi, klien dibantu untuk menggeneralisasi dan mentransper
belajar yang diperoleh di dalam situasi terapi kedalam situasi di luar terapi.
Lagi-lagi, pendekatan ini menggarisbawahi pentingnnya keterlibatan aktif dan
kesediaan klien untuk memperluas dan
menerapkan tingkah laku barunnya pada situasi-situasi kehidupan nyata.
Terapi ini belum lengkap apabila
verbalisasi-verbalisasi tidak atau belum diikuti oleh tindakan-tindakan. Klien
harus berbuat lebih dari sekedar memperoleh pemahaman-pemahaman, sebab dalam
terapi tingkah laku klien harus bersedia mengambil resiko. Bahwa
masalah-masalah kehidupan nyata harus dipecahkan dengan tingkah laku baru di
luar terapi, berarti fase tindakan merupakan hal yang esensial. Keberhasilan
dan kegagalan usaha-usaha menjalankan tingkah laku baru adalah bagian yang
vital dari perjalanan terapi.
2.6
Hubungan
Antara Konselor Dan Konseli Dalam Teori Behavior Atau Teori Tingkah Laku
Ada
suatu kecendrungan yang menjadi bagian dari sejumlah kritik untuk menggolongkan
hubungan antara terapis dank klien dalam terapi tingkah laku sebagai hubungan
yang mekanis, manipulatif, dan sangat impersonal. Bagaimanapun, sebagian besar
penulis di bidang terapi tingkah laku. Khususnya Wolpe (1958.1969). menyatakan
bahwa pembentukan hubungan pribadi yang baik adalah salah satu aspek yang
esensial dalam proses terapeutik. Sebagaimana di singgung di muka. Peran
terapis yang esensial adalah peran sebagai agen pemberi perkuatan. Para terapis
tingkah laku tidak di cetak untuk memainkan peran yang dingin dan impersonal
yang mengerdilkan mereka menjadi mesin – mesin yang deprogram yang memakakan
teknik – teknik kepada para klien yang mirip robot – robot.
Bagaimanapun,
tampak bahwa pada umumnya terapis tingkah laku tidak memberikan peran utama
kepada variable – variable hubunan
terapis – klien. Sekalipun demikian. Sebagian besar dari mereka mengakui
bahwa faktor – faktor seperti kehangatan, empati, keotentikan, sikap permisif,
dan penerimaan adalan kondisi – kondisi yang diperlukan, terapi tidak cukup.
Bagi kemunculan perubahan tikah laku dalam proses terapeutik. Tentang persoalan
ini Goldstein (1973) menyatakan bahwa pengembangan hubungan kerja membentuk
tahap bagi kelangsunggan terapi. Ia mencatat bahwa hubngan semacam itu dalam
dan oleh dirinya sendiri tidak cukup sebagai pemaksimal terapi yang efektif (h.
220). Sebelum intervensi terapeutik tertentu bisa dimunculkan dengan suatu
derajat keefektifan. Terapi terlebih dahulu harus mengembangkan atmosfer
kepercayaan dengan memperlihatkan bahwa
1. Ia
memahami dan menerima pasien
2. Kedua
orang di antara mereka bekerja sama dan
3. Terapi
memiliki alat yang berguna dalam membantu ke arah yang dikehendaki oleh pasien
(h. 221)
2.7
Teknik-Teknik
Dan Prosedur-Prosedur Terapeutik Teori Behavior Atau Teori Tingkah Laku
Salah satu sumbangan terapi tingkah laku adalah
pengembangan prosedur-prosedur terapeutik yang spesifik yang memiliki
kemungkinan untuk diperbaiki untuk metode ilmiah. Teknik-teknik terapi tingkkah
laku harus menunjukan keefektifannya melalui alat-alat yang objektif. Adapun
ada beberapa teknik dalam penerapan tepri behavior atau tingkah laku ini,
antara lain adalah :
1.
Desensitisasi
Sistematik
Merupakan
salah satu teknik yang paling luas digunakan dalam konseling tingkah laku.Desensitisasi sistematik di
gunakan untuk mengapus tingkah laku yang di perkuat secara negatif, dan ia
menyatakan pemunculan tingkah laku yang hendak dihapuskan itu. Desensitisasi
sistematik juga melibatkan teknik- teknik relaksasi. Konseli di latih untuk
santai dan mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman-pengalaman
pembangkit kecemasan yang divisualisasi.
Situasi-situasi dihadirkan dalam suatu rangkaindari yang sangat tidak mengancam
. Tingkatan stimulus-stimulus
penghasil kecemasan dipasangkan
secara berulang-ulang dengan stimulus-stimulus penghasil kecemasan dipasangakan secara berhulang-ulang dengan stimulus
–stmulus penghasil keadaan santai sampai
kaitan antara stimulus-stimulus kecemasan respons kecemasan itu terhapus .
Dalam teknik ini Wolpe telah mengembangkan suatu respons-yakni relaksasi, yang secarafisiologis bertentangan
dengan kecemasan yang secara sistematis diasosiasikan dengan aspek –aspek dari situasi
yang mengancam .Desensititasi sistematik adalah teknik yang cocok untuk menangani fobia-fobia.
Desensitisasi sistematik bisa di terapkan secara efektif pada berbagai situasi
peng hasil kecemasan, mencakup situasi interpersonal, ketakutan menghadapi
ujian, ketakutan-ketakutan yang generalisasi, kecemasan-kecemasan neurotic,
serta impotensa dan frigiditas seksual.
Wolpe (1969) mecatat 3 penyebab kegagalan dalam pelaksanaan desensitisasi sistematik
Wolpe (1969) mecatat 3 penyebab kegagalan dalam pelaksanaan desensitisasi sistematik
a. Kesulitan-kesulitan
dalam relaksasi , yang bisa jadi menunjuk kepa kesulitan-kesulitan dalam
komunikasi antara konselor dan konseli atau kepada keterhambatan yang ekstrem
yang di alami oleh konseli
b. Tingkatan-tingkatan
yang menyesatkan atau tidak relevan ,
c. Ketidak memadai dalam membayangkan .
2.
Terapi
Implosif dan Pembanjiran
Teknik-teknik
pembanjiran berlandaskan paradigma mengenai penghapusan eksperimental. Teknik
ini terdiri atas pemunculan stimulus berkondisi secara berulang-ulang tanpa
pemberian perkuatan. Dalam teknik
pembanjiran terapis memunculkan stimulus-stimulus penghasil kecemasan, klien
membayangkan situasi, dan terapis berusaha mempertahankan kecemasan klien.
Stampfl
(1975) mengembangkan teknik yang berhubungan dengan teknik pembanjiran yang
disebut ‘ terapi implosif’ seperti
halnya dengan desensitisasi sistematik, terapi
implosif berasumsi bahwa tingkah laku neurotik ( Penderita)melibatkan
penghindaran terkondisi atas stimulus-stimulus penghasil kecemasan. Alasan yang
digunakan oleh teknik ini adalah bahwa, jika seseorang secara berulang-ulang
dimunculkan dalam setting terapi dimana konsekwensi-konsekwensi yang di
harapkan dan menakutkan tidak muncul, stimulus-stimulus yang mengancam
kehilangan daya menghasilkan kecemasannya, dan penghindaran neurotik pun
terhapus.
Stampfl
(1975) mencatat beberapa contoh bagaimana terapi implosif berlangsung. Ia melukiskan seorang
klien yang mengalami kecendrungan-kecendrungan obsesif kepada kebersihan. Klien
mencuci tangannya lebih dari seratus kali sehari dan memiliki ketakutan yang
berlebihan terhadap kuman.
- Prosedur-prosedur
penanganan klien mencakup
Pencarian stimulus-stimulus apa yang memicu gejala-gejala apa - Menaksir
bagaimana gejala-gejala berkaitan dan bagaimana gejala-gejala itu
membentuk tingkahlaku klien
- Meminta
kepada klien untuk membayangkan sejelas-jelasnya apa yang dijabarkannya
tanpa disertai celaan atas kepantasan situasi yang dihadapinya
- Bergerak
semakin dekat kepada ketakutan yang paling kuat yang dialami klien dan
meminta kepadanya untuk membayangkan apa yang paling ingin di hindarinya,
dan
Mengulang prosedur-prosedur tersebut sampai kecemasan tidak lagi muncul
dalam diri klien
Stampfl
(1975) Mencatat sejumlah studi yang membuktikan kemanjuran terapi implosif
dalam menangani para pasien gangguan jiwa yang dirumahsakitkan, para pasien
neurotik, para pasien psikotik dan orang-orang yang menderita
fobia-fobia.Stampfl menyatakan bahwa terapi implosif berbeda dengan
terapi-terapi konvensional dalam arti terapi implosif tidak menekankan
pemahaman sebagai agen terapeutik.
3. Latihan Asertif
Pendekatan
behavioral yang dengan cepat mencapai popularitas adalah latihan asertif, yang
bisa di terapkan terutama pada situasi interpersonal di mana individu mengalami
kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa menyatakan atau menegaskan diri adalah
tindakan yang layak atau benar. Latihan asertif akan membantu bagi orang- orang
yang:
1. Tidak
mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung.
2. Menunjukkan
kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinnya.
3. Memiliki
kesulitan untuk mengatakan ‘’ tidak’’
4. Mengalami
kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respon-respon positif lainnya
5. Merasa
tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.
Bagaimana pendekatan
ini berlangsung? Latihan asertif menggunakan prosedur-prosedur permainan peran.
Suatu masalah yang khas yang bisa di kemukakan sebagai contoh adalah kesulitan
klien dalam menghadapi atasannya di kantor. Misalnya , klien mengeluh bahwa dia
acap kali merasa di tekan oleh atasannya untuk melakukan hal-hal yang menurut
penilaiannya buruk dan merugikan serta mengalami hambatan untuk bersikap tegas
di hadapan atasannya itu. Pertama-tama klien memainkan peran sebagai atasan,
member contoh bagi terapis , sementara terapis mencotohkan cara berpikir daqn
cara klien menghadapi atasan. Kemudian mereka saling menukar peran sambil klien
mencoba tingkah laku baru dan terapis memainkan peran sebagai atasan. Klien
boleh memberikan pengarahan kepada terapis tentang bagaimana memainkan peran
sebagai atasannya secara realities , sebaiknyaterapis melatih klien bagaimana
bersifat tegas terhadap atasan. Proses pembentukan terjadi ketika tingkah laku
baru di capai dengan penghampiran-penghampiran . juga terjadi penghapusan
kecemasan dalam menghadapi atasan dan sikap klien yang lebih tegas terhadap
atasan menjadi lebih sempurna.
Tingkah laku menegaskan
diri pertama-tama di praktekan dalam situasi permainan peran . dan dari
sana di usahakan agar tingkah laku menegaskan
diri itu di praktekan dalam situasi situasi kehidupan nyata. Terapis memberikan
bimbingan dengan memperlihatkan bagaimana dan bila mana klien bisa kembali ke
tingkah laku semula. Tidak tegas serta memberikan pedoman untuk memperkuat
tingkah laku menegaskan diri yang baru diperolehnya.
Shaffer dan Galinsky
(1974) Menerangkan bagaimana kelompok-kelompok latihan asertif atau latihan
ekspresif di bentuk dan berfungsi. Kelompok terdiri dari delapan sampai sepuluh
anggota yang memiliki latar belakang yang sama. Dan season terapi berlangsung
selama dua jam. Terapis bertindak sebagai penyelenggara dan pengarah permainan
peran. Pelatih memberi penguatan dan sebagai model peran. Dalam diskusi-diskusi
kelompok terapis bertindak sebagai seorang ahli memberikan bimbingan dalam
situasi-situasi permainan peran. Dan memberikan umpan balik kepada para
anggota.
Seperti kelompok-
kelompok tingkah laku lainnya, kelompok
latihan asertif di tandai dengan stuktur yang mempunyai pemimpin. Secara khas
sessions berstruktur sebagai berikut : session pertama yang di mulai dengan
pengenalan didaktik tentang kecemasan social yang tidak realistis, pemusatan
pada belajar menghapuskan respon-respon interbnal yang tidak efektif yang telah
mengakibatkan kekurang tegasan dan pada belajar peran tingkah laku yang baru
asertif. Session kedua bisa memperkenalkan sejumlah latihan relaksasi, dan
masing- masing anggota menenrangkan tingkah laku spesifik dalam situasi-situasi
interpersonal yang di rasakannya menjadi masalah. Para anggota kemudian membuat
perjanjian untuk menjalankan tingakah laku menegaskan diri yang semula mereka
hindari sebelum memasuki session yang selanjutnya. Session ketiga, para
anggoata menerangkan tentang tingkah laku menegaskan diri yang telah diu coba
di jalankan oleh mereka dalam situasi-situasi kehidupan nyata. Mereka berusaha
mengepaluasi, jika mereka belum sepenuhnya berhasil, kelompok langsung
menjalankan permainan peran. Session selanjutnya terdiri atas penambahan
latihan relaksasi , pengulangan perjanjian untuk menbjalankan tingkah laku
menegaskan diri yang di ikuti oleh evaluasi. Session yang terakhir bisa di
sesuaikan dengan kebutuhan – kebutuhan individual para anggota. Sejumlah
kelompok cenderung berfokus pada permainan peran tambahan . evaluasi dan
latihan sedangkan kelompok yang lainnya berfokus pada usaha usaha mensiskusikan
sikap-sikap dan perasaan perasaan yang telah membuat tingkah laku menegaskan
diri sulit di jalankan.
Terapi kelompok latihan
asertif pada dasarnya merupakan penerapan latihan tingkah laku pada kelompok
dengan sasaran membantu individu dalam mengembangkan cara cara berhubungan yang
lebih langsung dalam situasi-situasi intrapersonal. Fokusnya adalah
mempraktekan memulai permaianan peran kecakapan-kecakapan bergaul yang baru di
peroleh sehingga individu belajar bagaimana mengungkapkan perasaan-perasaan dan
pikiran mereka secara lebih terbuka di sertai keyakinan bahwa mereka berhak
untuk menunjukan reaksi-reaksi yang terbuka itu.
4. Terapi Aversi
Teknik-teknik pengondisian aversi yang telah digunakan secara luas untuk
meredakan gangguan-gangguan behavioral yang spesifik, melibatkan pengasosiasian
tingkah laku simtomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan sampai tingkah
laku yang tidak diinginkan terhambat kemunculanya. Stimulus-stimulus aversi
biasanya berupa hukuman dengan kejutan listrik dan ramuan yang mengakibatkan
mual. Kendali aversi bisa melibatkan
penarikan pemerkuat positif atau penggunaan berbagai bentuk hukuman. Contoh
pelaksanaan penarikan pemerkuat positif adalah mengabaikan ledakan kemarahan
anak guna menghapus kebiasaan
mengungkapkan ledakan kemarahan pada si anak. Jika perkuatan social di
tarik, tingkah laku yang tidak diharapkan cenderung berkurang frekwensinya.
Contoh penggunaan hukuman sebagai cara pengendalian adalah pemberian kejutan
listrik terhadap anak autistic ketika tingkah laku spesifik yang tidak
diinginkan muncul.
Teknik-teknik
aversi adalah metode-metode yang paling controversial yang dimiliki oleh para
behavioris meskipun digunakan secara luas sebagai metode-metode untuk membawa
orang-orang kepada tingkah laku yang diinginkan. Kondisi-kondisi
diciptakan sehingga orang-orang
melakukan apa yang diharapkan dari mereka alam rangka menghindari
konsekuensi-konsekuensi aversif.
Sebagian besar lembaga social menggunakan prosedur-prosedur aversi untuk
mengendalikan para anggotanya dan untuk membentuk tingkah laku individu agar
sesuai dengan yang telah di gariskan: gereja menggunakan pengucilan,
perusahaan-perusahaan menggunakan pemecatan dan penangguhan pembayaran upah,
sedangkan pemerintah menggunakan denda dan hukuman penjara.
Kendali
aversi acap kali menandai hubungan orang tua-anak. Kendali-kendali bisa bekerja
secara langsung dan disadari. Baik anak maupun orang tua bisa di kendalikan
oleh apa yang terjadi dalam situasi-situasi tertentu., dan boleh jadi
situasi-situasi itu tidak bisa di jelaskan. Seorang anak diberi hak istimewa
jika dia menyelaraskan diri dengan bertingkah laku sebagaimana yang di harapkan,
dan sebaliknya. Anakpun belajar menggunakan kendali aversif terhadap orang
tuanya. Dia belajar bahwa orang tuanya
memiliki suatu taraf toleransi terhadap tangisan, teriakan, permintaan, dan
renekan anak, serta belajar bahwa pada akhirnya orang tuanya itu akan memenuhi
permintaanya.
Dalam
setting yang lebih formal dan terapeutik, teknik-teknik aversif sering di
gunakan dalam penanganan berbagai tingkah laku yang maladaptif, mencakup
minumalkohol secara berlebihan, ketergantungan pada obat bius, merokok,
obsesi-obsesi, kompulsi-kompulsi, fetisisme, berjudi, homoseksualitas, dan
penyimpangan seksual seperti pedofolia. Teknik ini merupkan metode yang utama
dalam penanganan alkoholisme. Seorang alkoholik tidak dipaksa untuk menjauhkan
diri dari alcohol, tetapi justru disuruh meminum alkohol. Akan tetapi, setiap
tegukan alkohol diseratai pemberian ramuan yang membuat alkoholik merasa mual,
dan kemudian muntah. Si alkoholik lambat laun akan merasa sakit bahkan meskipun
hanya melihat botol alkohol. Pengetahuan
tentang pengaruh-pengaruh buruk dari
alkohol cenderung menghambat alkoholisme, tetapi terdapat kemungkinan bahwa
alkoholik kembali kepada kebiasaan semula setelah periode penahanan diri yang
singkat. Selain pada penanganan alkoholisme, prosedur-prosedur aversi telah
digunakan secara berhasil pada penanganan-penanganan penyimpangan-penyimpangan
seksual dengan mengasosiasikan stimulus yang menyakitkan dengan objek atau
tindakan seksual yang tidak layak.
Butir
yang penting adalah bahwa maksud prosedur-prosedur aversif iyalah menyajikan
cara-cara menahan respons-respons maladaftifdalam suatu periode sehingga
terdapat kesempatan untuk memperoleh tingkah laku alternative yang adaptif dan
yang akan terbukti memperkuat dirinya sendiri. Satu kesalahpahaman yang popular
adalah bahwa teknik-teknik yang berlandasan hukuman merupakan perangkat yang
paling penting bagi para terapis tingkah laku.
tingkah laku. Hukumanjangan sering digunakan meskipun mungkin para klien
sendiri menginginkan penghapusan tingkahlaku yang tak diinginkanya melalui
penggunaan hukuman. Apabila cara-cara yang merupakan alternatifbagi hukuman
tersedia, maka hukuman jangan digunakan. Cara-cara yang positif yang
mengarahkan kerusak dari pada tingkah
lakuyang baru dan lebih layak harus dicari dan di gunakan sebelum terpaksa
menggunakan pemerkuat-pemerkuat negative. Acap kali tingkah laku bisa di ubah
hanya dengan menggunakan perkuatan positif yang mengurangi kemungkinan
terbentuknya efek-efek samping yang merusak dari hukuman. Di samping itu, jika
hukuman di gunakan, bentuk-bentuk tingkah laku adaptif yang merupakan
alternative perlu secara jelas dan secara spesifik di gambarkan secara hukuman
harus di gunakan dengan cara-cara yang tidak mengakibatkan klien merasa di
tolak sebagai pribadi. Yang juga penting adalah klien dibantu agar ia
mengetahui bahwa konsekuensi-konsekuensi aversif diasosiasikan hanya dengan
tingkah laku maladaptive yang spesifik.
Skinner
(1948-1971) Adalah salah seorang tokoh yang
secara terang-terangan menentang penggunaan hukuman sebagai cara untuk
mengendalikan hubungan-hubungan manusia ataupun untuk mencapai maksud-maksud
lembaga-lembaga masyarakat. Menurut Skinner perkuatan positif jauh lebih baik
efektif dalam mengendalikan tingkah laku karena hasil-hasilnya lebih bisa
diramalkan serta kemungkinan timbulnya tingkah laku yang tidak diingankan akan
lebih kecil. Skinner berpendapat bahwa hukuman adalah sesuatu yang buruk,
meskipun bisa menekan tingkah laku yang diinginkan, tidak
melemahkankecenderungan untuk merespon bahkan kalaupun ia untuk sementara
menekan tingkah laku tertentu. Akibat-akibat yang tidak tidak diinginkan,
menurut Skinner, berkaitan dengan penggunaan pengendalian aversif maupun
penggunaan hukuman.
Apabila
hukuman digunakan, mak terdapat kemungkinan
terbentuknya efek-efak samping emosional tambahan seperti:
a. Emosional
tambahan seperti tingkah laku yang tidak diinginkan yang dihukum boleh jadi
akan ditekan hanya apa bila penghukum hadir
- Jika tidak
ada tingkah laku yang menjadi alternatif bagi tingkah laku yang dihukum,
maka individu ada kemungkinan menarik diri secara berlebihan,
c. Pengaruh
hukuman boleh jadi digeneralisasikan kepada tingkah laku lain yang berkaitan
dengan tingkah laku yang dihukum, Misalnya; Seorang anak yang dihukum karena
kegagalannya di sekolah boleh jadi akan membenci semua pelajaran, sekolah,
semua guru, dan barangkali bahkan membenci belajar pada umumnya.
Jadi, seorang anak yang dihukum
karena kegagalanya di sekolah boleh jadi akan membenci semuapelajaran sekolah,
semua guru, dan barangkali bahkan membenci belajar pada umumnya.
5. Pengondisian
Operan
Tingkah
laku operan adalah tingkah laku yang memancar yang menjadi ciri organisme yang
aktif. Ia adalah tingkah laku beroperasi di lingkungan untuk menghasilkan
akibat-akibat. Tingkah laku operan merupakan tingkah laku yang paling berarti
dalam kehidupan sehari-hari yang mencakup membaca, berarti dalam kehidupan
sehari-hari, yang mencakup membaca, berbicara, berpakaian, makan dan lain-lain.
Menurut
Skinner (1971), jika suatu tingkah laku diganjar maka probabilitas kemunculan
kembali tingkah laku tersebut dimasa mendatang akan tinggi.Perubahan tingkah
laku yang dikondisikan, diberikan dalam kurun waktu tertentu dan target
tertentu.
Contonya
pemberian hadiah jika seorang anak yang
mendapatkan ranking.
6. Perkuatan positif
Perkuatan
positif adalah suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau
penghargaan positif setalah tingkah laku yang diharapkan itu muncul. Cara ini
sangat ampuh untuh mengubah tingkah laku
yang tidak baik menjadi baik. Ada pemerkuat – pemerkuat untuk perkuatan positif
adalah sebagai berikut :
Pemerkuat primer
adalah memuaskan kebutuhan fisiologis. Contoh : makanan, minuman,
tidur/istirahat, rumah, dan pakaian.
Pemerkuat skunder adalah memuaskan kebutuhan
psikologis dan sosial. Pemerkuat skunder bias menjadi alat yang sangat ampuh
untuk merubah tingkah laku diharapkan dari tidak baik menjadi baik. Contoh :
memberikan senyuman, persetujuan, pujian, bintang-bintang emas/ medali/ tanda
penghargaan, uang, dan hadiah.
7.
Pembentukan
respons
Pembentukan
respons berwujud pengembangan suatu respons yang pada mulanya tidak terdapat
dalam pembendaharaan tingkah laku individu. Perkuatan sering digunakan dalam
proses pembentukan respons ini. Jadi, misalnya, jika seorang guru ingin
membentuk tingkah laku kooperatif sebagai tingkah laku kompetitif, dia bisa
memberikan perhatian dan persetujuan kepada tingkah laku yang diinginkannya
itu. Pada anak autisik yang tingkah laku motorik, verbal, emosional, dan
sosialnya kurang adaptif, konselor bisa membentuk tingkah laku yang lebih
adaptif dengan memberikan pemerkuat-pemerkuat primer maupun sekunder.
Keempat komponen
tersebut seperti :
-Motorik
: Gerakan,Konselor melatih gerak gerik anak supaya anak tersebut mempunya
keterampilan.Latihan yang dilakukan misalnya dengan latihan melukis,atau
membuat suatu keterampilan-keterampilan yang lain.
-Verbal :Kata-kata,Konselor membimbing anak
tersebut dengan melatih perkataan yang satun,supaya verbal yang terbentuk dalam
diri anak tersebut menjadi lebih baik
-Emosional:Emosi/Perasaan
Konselor harus mampu mengerti emosi anak atau perasaan yang dimilikinya dengan
mengerti dengan emosi anak,Konselor bisa lebih mudah untuk membimbing anak
tersebut
Sosial:
Pergaulan. Konselor bisa memberikan pengarahan-pengarahan atau menghimbau anak
tersebut dalam hal bergaul dengan teman atau siapapun di masyarakat.
Keempat
komponen diatas dilakukan untuk membentuk sikap yg Adaptif(mampu menyesuaikan
diri).
8.
Perkuatan
intermiten
Di
samping membentuk, perkuatan-perkuatan bisa juga digunakan untuk memelihara
tingkah laku yang telah terbentuk. Untuk memaksimalkan nilai
pemerkuat-pemerkuat, konselor harus memahami kondisi-kondisi umum dimana
perkuatan-perkuatan muncul. Oleh karenanya jadwal-jadwal perkuatan merupakan
hal yang penting. Perkuatan terus menerus mengganjar tingkah laku setiap kali
ia muncul. Sedangkan perkuatan intermiten pada umumnya lebih tahan terhadap
penghapusan dibanding dengan tingkah laku yang dikondisikan melalui pemberian
perkuatan yang terus menerus. Misalkan
dalam proses belajar mengajar pada pelajaran matematika, tentu guru tersebut
berharap untuk semua siswanya mengerti dengan apa yang dijelaskan oleh guru.
Hal ini diupayakan dengan cara memberikan perkuatan-perkuatan positif kepada
siswa seperti reward/pujian kepada siswa yang sudah mengerti sehingga ia bisa
mengubah tingkah lakunya dalam belajar sehingga sesuai dengan harapan guru mata
pelajaran tersebut, dan siswa yang tidak mengerti akan berusaha untuk mengerti
dengan menanyakan kepada teman yang sudah mengerti.
Dalam
menerapkan pemberian perkuatan pada pengubahan tingkah laku, pada tahap-tahap
permulaan konselor harus mengganjar setiap terjadi munculnya tingkah laku yang
diinginkan. Jika mungkin, perkuatan-perkuatan diberikan segera setelah tingkah
laku yang diinginkan muncul. Dengan cara ini, penerima perkuatan akan belajar,
tingkah laku spesifik apa yang diganjar. Bagaimanapun, setelah tingkah laku
yang diinginkan itu meningkat frekuensi kemunculannya, frekuensi pemberian
perkuatan bisa dikurangi. Seorang anak yang diberi pujian setiap berhasil
menyelesaikan soal-soal matematika, misalnya, memiliki kecenderungan yang lebih
kuat untuk berputus asa ketika menghadapi kegagalan dibanding dengan apabila si
anak hanya diberi pujian sekali-kali. Contoh: misalkan siswa mengalami
kesulitan belajar pada materi yang diajarkan, hal pertama yang bisa guru
lakukan yaitu dengan cara menanyakan dimana letak kesulitan yang mereka alami,
kemudian guru juga bisa memberikan contoh-contoh yang mudah agar siswa dapat mengerjakannya,
apabila siswa tersebut sudah bisa mengerjakan soal yang mudah tersebut guru
langsung meemberikan perkuatan positif seperti memberikan tepuk tangan dan
selamat kepada anak tersebut agar siswa itu dapat mempertahankan bahkan
meningkatkan kemampuannya.
9.
Penghapusan
Apabila suatu respons
terus menerus dibuat tanpa perkuatan , maka respons tersebut cenderung
menghilang. Dengan demikian, karena pola-pola tingkah laku yang dipelajari
cenderung melemah dan terhapus setelah suatu periode, cara untuk menghapus
tingkah laku yang maladaptif adalah menarik perkuatan dari tingkah laku yang
maladaptif itu. Penghapusan dalam kasus semacam ini boleh jadi berlangsung
lambat karena tingkah laku yang akan dihapus telah dipelihara oleh perkuatan
intermiten dalam jangka waktu lama. Wolpe (1969) menekankan bahwa pengehentian
pemberian perkuatan harus serentak akan penuh. Misalnya, jika seseorang anak
menunjukkan kebandelan di rumah atau di sekolah, orang tua dan guru si anak
bisa menghindari pemberian perhatian sebagai cara untuk menghapus kebandelan
anak tersebut. Pada saat yang sama perkuatan positif bisa berikan kepada si
anak agar belajar tingkah laku yang diinginkan.
Terapis,
guru dan orang tua yang menggunakan penghapusan sebagai tehnik utama dalam
menghapus tingkah laku yang tidak diinginkan harus mencatat bahwa tingkah laku
yang tiak diinginkan itu pada mulanya bisa menjadi lebih buruk sebelum akhirnya
terhapus atau dikurangi. Contohnya, seorang anak yang telah belajar bahwa dia
dengan mengomel biasanya memperoleh apa yang diinginkan, mungkin akan
memperhebat omelannya ketika permintaannya tidak segera dipenuhi. Jadi
kesabaran menghadapi periode peralihan amat diperlukan.
10. Percontohan
Dalam
percontohan, individu mengamati seorang model dan kemudian diperkuat untuk
mencontoh tingkah laku sang model. Bandura ( 1969) menyatakan bahwa segenap
belajar yang bisa diperoleh melalui pengalaman langsung bisa pula diperoleh
secara tidak langsung dengan menga,ati tingkah laku orang lain berikut
konsekuensi- konsekuensinya. Jadi kecakapan- kecakapan sosial tertentu bisa
diperoleh engan mengamati dan mencontoh tingkah laku model- model yang ada.
Juga reaksi- reaksi emosional yang terganggu yng dimiliki seseorang bisa
dihapus dengan cara orang itu mengamati orang lain yang mendekati objek- objek
atau situasi- situasi yang di takuti tanpa mengalami akibat- akibat yang
menakutkan dengan tindakan yang dilakukannya . pengendalian diripun bisa
dipelajarari melalui pengamatan atas
model yang dikenai hukuman. Status dan kehormatan model amat berarti, dan
orang- orang pada umumnya dipengaruhi oleh tingkah laku model- model yang
menepati status yang tinggi dan terhormat di mata mereka sebagai pengamat.
11. Token Economy
Token
ekonomy adalah sistem perlakuan kepada tiap individu untuk
mendapatkan bukti target perilaku setelah mengumpulkan sejumlah prilaku tertentu
sehingga mencapai kondisi yang diharapkan. Contoh seperti pada lembar bukti
prestasi. Siswa mendapatkan bukti dalam bentuk rewads atau hadiah dari
pekerjaan yang dapat ditunjukannya. (Jason, 2009 ; 35).
Token
Economy merupakakan sistem perlakuan pemberian penghargaan
kepada siswa yang diwujudkan secara visual. Token Economy adalah usaha
mengembangkan prilaku sesuai dengan tujuan yang diharapkan melalui penggunaan
penghargaan. Setiap individu mendapat penghargaan setelah menunjukan prilaku
yang diharapkan. Hadiah dikumpul selanjutnya setelah hadiah terkumpul ditukar
dengan penghargaan yang bermakna. (Joson, 2009 ; 66).
Menurut
Wallin (1991), Token Economy yang diberikan kepada siswa merupakan
dukungan sekunder untuk memperkuat suasana belajar supaya lebih kondusif. Oleh
karena itu, penghargaan harus menjadi rangsangan yang netral atau tidak
berpihak. Siswa berkompetisi untuk memperolehnya dengan cara mengumpulkan token
sebanyak-banyaknya dalam proses kegiatan belajar mengajar.
Dari
pengertian diatas dapat diketahui bahwa Token economy adalah sistem
perlakuan kepada tiap individu untuk mendapatkan bukti target perilaku setelah
mengumpulkan sejumlah prilaku tertentu sehingga mencapai kondisi yang
diharapkan, dengan cara subyek mendapat penghargaan setelah menunjukan prilaku
yang diharapkan. Hadiah dikumpul selanjutnya setelah hadiah terkumpul ditukar
dengan penghargaan yang bermakna.
Tujuan Token Economy Bukti
Token Economy dapat digunakan untuk memenuhi berbagai tujuan pendidikan
dalam membangun perilaku siswa. Penggunaan sistem time token ekonomi memiliki
tujuan :
a.
Meningkatnya kepuasan dalam mendorong
peningkatan kompetensi siswa melalui penghargaan yang kongkrit atau visual
sehingga tingkat kesenangan siswa melakukan sesuatu prestasi benar-benar
tampak.
b.
Meningkatnya efektivitas waktu dalam
pelaksanaan pembelajaran. Belajar yang efektif adalah yang menggunakan waktu
yang pendek dengan hasil yang terbaik dan terbanyak. Siswa harus menyadari
berapa lama mereka telah belajar dan berapa banyak waktu yang telah mereka
gunakan secara efektif untuk melaksanakan aktivitas belajar.
c.
Berkurangnya kebosanan – Suasana belajar
yang kolaboratif, rivalitas, kompetitif yang diberi penguatan oleh pendidik
dapat meningkatkan menurunkan tingkat di kebosanan siswa sehingga siswa dapat
berpartisipasi dalam jangka waktu yang yang lama.
d.
Meningkatnya daya respon – Suasana
belajar yang kompetitif akan meningkatkan kecepatan siswa meberikan respon.
Setiap respon yang sesuai dengan tujuan akan segera mendapat penguatan sehingga
suasana belajar menjadi cair, komunikatif dan lebih menyengkan.
e.
Berkembangnya penguatan yang lebih
alami, – melalui pemberian penguatan yang tepat waktu akan dan disesuaikan
dengan tingkat prestasi setiap siswa atau setiap kelompok siswa memungkinkan
f.
Meningkatnya penguatan untuk sehingga
motivasi belajar berkembang – setiap siswa atau setiap kelompok siswa dalam
kelas selalu dalam keadaan terpacu untuk mewujudkan dan daya pacu ini akan
semakin berkembang jika siswa juga mendapat layanan untuk mengabadikan daya kompetisinya
seperti dengan dukungan rekaman video.
Komponen Token Economy. Sebelum
kegiatan belajar dilaksanakan pendidik menyiapkan beberapa komponen yang
dibutuhkan, di antaranya:
a.
Token atau simbol praktis dan atraktif
untuk memicu tumbuhnya motivasi belajar. Yang dapat digunakan sebagai simbol
penghargaan seperti stiker, guntingan kertas, simbol bintang, atau uang mainan.
Token sendiri tidak selalu dalam bentuk yang berharga, namun setelah siswa
mengoleksinya setelah menunjukan prilaku yang diharapkan mereka dapat
menukarkan token itu dengan sesuatu yang berharga. Dengan demikian setelah satu
rentang waktu tertentu guru harus menyediakan barang penukar token yang
berharga untuk siswa. Yang paling mudah seperti permen, alat tulis atau benda
berharga lain yang dapat sekolah biayai.
b.
Definisi target prilaku jelas. Hal itu
berarti guru maupun siswa perlu memahami dengan baik prilaku yang diharapkan.
Siswa memahami benar prilaku seperti apa yang harus ditunjukannya sebagai hasil
belajar. Penjelasan harus singkat namun cukup sebagai dasar pemahaman siswa
mengenai hadiah yang dapat diperlehnya setelah menunjukan prestasi.
c.
Dukungan penguatan (reinforcers) dengan
barang yang berharga. Dukungan itu dapat dalam bentuk barang berharga, hak
istimewa, atau aktivitas individu yang dapat ditukar dengan makanan, perangkat
permainan, waktu ekstra.
d.
Sistem penukaran token atau simbol.
Sukses penyelenggaraan token ekonomi sangat bergantung pada sukses dalam
memberikan penguatan yang dapat ditukarkan dengan nilai yang sebanding dengan
prestasi yang dicapai.
e.
Sistem dokumentasi atau perekaman data.
Pemberian penghargaan yangtepat sangat bergantung pada ketepatan menghimpun
data. Oleh karena itu alat perekam dapat membantu meningkatkan proses ini
sehingga informasi dari proses pembelajaran dapat dikelola dengan tingkat
akurasi yang tinggi.
f.
Konsistensi dalam implementasi, untuk
menjunjung konsistensi itu sebaiknya terdapat panduan teknis yang tertulis
sebagai pegangan pelaksanaan tugas sehingga apa yang direncanakan itulah yang
dilaksanakan.
Langkah-langakah pelaksanaan Token Economy
Mengacu
pada pemikiran Robinson T.J. Newby dan S.L. Ganzell, (1981) merumusakan bahwa
langkah utama dalam pelaksanaan sistem token ekonomi dapat dikembangkan sebagai
berikut :
a.
Menentukan target prilaku atau
kompetensi yang dapat siswa tunjukan. Guru memilih masalah penting sebagai
target. Definisikan dengan jelas, harus dalam bentuk penyataan positif, dan
harus dalam prilaku hasil belajar yang dikembangkan dalam bimbingan
pembelajaran dalam kelas.
b.
Menentukan motode bagaimana
langkah-langkah untuk memperoleh penghargaan dan nilai dari setiap penghargaan.
Barkley (1990) memberi contoh untuk anak-anak umur 4-7 thaun menggunakan
guntingan kartu berbentuk bintang, model perangko atau stiker. Setiap perangkat
penghargaan diletakan siswa di atas meja belajarnya dalam kelas.
c.
Identifikasi nilai atraktif penghargaan.
Mengembangkan penghargaan sebagai sesuatu yang berarti, praktis dan atraktif
sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Hal penting yang dapat meningkatkan
makna adalah keterlibatan siswa dalam proses memilih dan menyusun jenis dan
nilai penghargaan. Dalam hal ini siswa dapat memperoleh kebebasan menentukan
waktu
d.
Menentukan Tujuan, jumlah token yang
dapat diperoleh serta nilai yang diperoleh untuk setiap penghargaan yang
diperoleh.
Implementasi
kegiatan ini memerlukan langkah lanjut :
a.
Penjelasan Program Kepada Siswa.
Penjelasan mengenai program harus jelas. Siswa harus memahami aturan main
sebelum belajar dimualai agar mereka dapat memanfaatkan waktu belajar secara
optimal. Sejumlah penghargaan kepada siswa diberikan di antaranya karena
ketepatan dan kecepatan menunjukan prilaku positif yang diharapkan.
b.
Guru memberikan masukan. Guru harus
menentukan kapan hadiah akan didistribusikan, dengan ketentuan seperti apa, dan
bagaimana siswa dapat memperoleh penghargaan, tata tertib seperti bagaimana?
Pemberian penghargaan dapat guru lakukan tidak hanya sebatas dalam kurun waktu
satu dua jam pelajaran, namun dapat pula menggunakan waktu berharihari,
berminggu-minggu atau dalam satu semester sepanjang guru dapat memelihara
kondisi tingkat revalitas, persaingan dan daya kolaborasi dapat terus
dikobarkan sehingga berdampak positif terhadap hasil belajar siswa.
c.
Guru pengatur penghargaan. Guru
memberikan penghargaan dengan memperhatikan tercapainya tujuan pembelajaran.
Kejuaraan diperoleh dari pengumpul hadiah terbanyak. Hal itu berarti menjadi
siswa yang berlajar paling efektif sehingga mencapai prilaku yang diharapkan.
Jika siswa berhasil dalam satu hari dan ia tidak mendapatkan di waktu lain
adalah sesuatu yang baiasa.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1.
Terapi tingkah laku atau behavioristik
ini merupakan penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada
berbagai teori tentang belajar. Teori
belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage
dan Berliner tentang perubahan tingkah laku
sebagai hasil dari pengalaman
dan kematangan.
2.
Terapi tingkah laku,berbeda dngan
sebagian besar pendekatan terapi lainnya,ditandai oleh: (a) Pemusatan perhatian
kepada tingkah laku yg tampak dan spesifik, (b) kecermatan dan penguraian
tujuan-tujuan treatment, (c) perumusan prosedur treatment yg spesifik yg sesuai
dengan masalah dan (d) penaksiran objektif atas hasil-hasil terapi.
3.
Tujuan umum terapi tingkah laku adaiah
menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Dasar alasanya ialah
bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari (learned), termasu tingkah laku
yang maladaktif. Jika tingkah laku neurotik learned , maka ia bisa unlearned (dihapus dari ingatan). Dan
tingkah laku yang lebih efektif bisa diperoleh. Terapi tingkah laku pada
hakekatnya terdiri atas proses penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif dan
pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang didalamnya respons-respons yang layak
yang belum dipelajari.
4.
Terapis tingkah laku harus memainkan
peran aktif dan direktif dalam pemberian treatmen, yakni terapis menerapkan
pengtahuan ilmiyah pada pencarian pemecahan-pemecahan bagi masalah-masalah
manusia, pada kliennya. Terapis tingkah laku secara khas berfungsi sebagai
guru, pengaruh, dan ahli dalam mendiagnosis tingkah laku yang maladaptif dan
dalm menentukan prosedur-prosedur penyembuhan yang,diharapkan,mengarah pada
tingkah laku yang baru dan adjustive
5.
Peran terapis yang esensial adalah peran
sebagai agen pemberi perkuatan. Para terapis tingkah laku tidak di cetak untuk
memainkan peran yang dingin dan impersonal yang mengerdilkan mereka menjadi
mesin – mesin yang deprogram yang memakakan teknik – teknik kepada para klien
yang mirip robot – robot. Sedangkan aspek
yang penting dari peran klien dalam terapi tingkah laku adalah, klien di dorong
untuk breksperimen dengan tingkah laku baru dengan maksud memperluas
perbendarahaan tingkah laku adaptifnya
6.
Terapi terlebih dahulu harus mengembangkan
atmosfer kepercayaan dengan memperlihatkan bahwa
a. Ia
memahami dan menerima pasien
b. Kedua
orang di antara mereka bekerja sama dan
c. Terapi
memiliki alat yang berguna dalam membantu ke arah yang dikehendaki oleh pasien
(h. 221)
7.
Ada beberapa teknik-teknik dan
prosedur-prosedur dalam teori atau terapi tingkah laku, yaitu :
a.
Teknik Desensitisasi Sistematik
b.
Teknik Terapi Implosif dan Pembanjiran
c.
Teknik Latihan Asertif
d.
Teknik Terapi Aversi
e.
Teknik Pengondisian Operan
f.
Teknik Perkuatan Positif
g.
Teknik Perkuatan Respons
h.
Teknik Perkuatan Intermiten
i.
Teknik Penghapusan
j.
Teknik Percontohan
k.
Teknik Token Economy
DAFTAR PUSTAKA
Koeswara.E, 2003. Teori dan Praktek
Konseling dan Psikoterapi, bandung : PT Rafika Aditama
Terjemahan : Garald Corey dengan judul
asli Theory and Practice of Counseling and Psychoterapy
www.google.com // terapi behavior
atau terapi tingkah laku//